Selasa, 26 Januari 2010

Pahlawan Sunyi Di Sekitar Kita (Bedah Buku Se7en Heroes)

Sabtu lalu, saya (baca: Sang Lirak) dan teman-teman berkunjung ke Kinokuniya. Bukan tanpa sebab kami kesini, dalam acara ini kami datang menghadiri acara bedah buku Se7en Heroes. Buku yang diterbitkan oleh Bentang ini adalah sebuah buku tentang 7 Pahlawan yang disematkan oleh Kick Andy Award.

Hadir di acara tersebut pak Hartono (cucu pak Gendo), bidan Aminah (bidan yang mengabdikan dirinya pada masyarakat), Ben Sohib (penulis buku Se7en Heroes) dan tentunya ada Andy F.Noya sebagai host acara ini.

Seperti halnya Kick Andy, maka acara ini dibuat beti (beda tipis) dengan Kick Andy versi televisi. Bedanya Andy terlihat lebih santai dengan topi, polo shirt, celana training dan sepatu kets. Begitupun dengan penulisnya yang terlihat santai menggunakan jacket jeans, topi, celana jeans dan sepatu lari. Hanya dua narasumber yang terlihat sangat rapih di sana, tentunya pak Hartono dan bidan Aminah dong….

Mau tau inspirasinya seperti apa, mari kita mulai cerita ini….



Andy F. Noya pertama-tama mengajak kita mengenal pak Hartono, seorang cucu dari pak Gendo yang dengan ketulusan hatinya mau merawat pasien sakit jiwa tanpa pamrih. Entah ini titisan atau panggilan hati, tapi ia benar-benar tulus menghadapi para pasien sakit jiwa. Iapun menuturkan pengalaman dan suka dukanya mengurus pasien-pasiennya.

Pertama-tama ketika ia pertama kali merawat pasien, ia tidak pernah mendapatkan petunjuk apapun dari sang kakek. Satu hari menjaga, bogem mentah melayang di mukanya. Babak belurpun akhirnya menjadi santapan makanannya kala itu. Ia bingung dan tidak tahu harus berbuat apa agar pasien-pasiennya bisa dikendalikan. Kemudian ditanyakannya pada kakeknya. Namun kakeknya hanya tersenyum dan berkata, nanti kamu akan mengetahuinya sendiri.

Akhirnya dicobanya mencari tahu apa rahasianya untuk bisa mengendalikan pasien-pasiennya. Hasilnya nihil, beberapa bogem mentah malah menjadi makanannya selama tiga hari berturut-turut. Iapun kemudian geram, darah mudanya seolah bangkit, hingga ia datangi kakeknya. Ia marah karena tidak diberitahu cara untuk menghadapi mereka, ancamanpun tak pelak ia keluarkan. Dengan geram ia berkata tidak akan pernah mau mengurus pasien-pasien itu lagi kalau tidak diberitahu rahasia menghadapinya.

Melihat hal itu kakeknya hanya tersenyum saja, dengan menghela nafas dalam akhirnya kakeknya memberikan lima resep untuk menangani pasien-pasien tersebut. Lima hal itu adalah sabar, rendah hati, murah hati, tulus dan ikhlas, kalau lima hal ini bisa dilakukan dalam satu jam saja maka kamu bisa mengendalikan mereka. Sang kakek hanya memberikan pesan singkat itu saja pada Hartono.

Mendengar pesan itu, ia langsung mencobanya hari itu juga. Dalam waktu satu jam bukan rentang kendali yang ia dapatkan, malah bogem mentah yang semakin banyak hinggap di wajahnya bagai blash on yang di torehkan ke pipinya.

Hartono patah arang, iapun kemudian datang lagi ke kakeknya dan menyerah, ia tidak sanggup menjaga para pasien. Mendengar hal itu sang kakek hanya tersenyum saja, ia kemudian memberi satu rahasia lagi bagaimana mengendalikan mereka. Sang kakek hanya berkata kalau kamu tidak bisa menjalankan semua, maka cobalah bahagiakan hati mereka.

Esoknya Hartono dengan semangatnya memasak nasi goreng untuk para pasien, dengan semangatnya ia masakkan nasi goreng spesial untuk mereka. Bukan sambutan bahagia yang didapatkan, piring-piringpun berantakan di lempar kesana kemari. Untuk kesekian kalinya ia menjadi down, sang kakek yang melihatnya hanya tersenyum. Dengan suara paraunya ia memberitahu cara membuat bahagia mereka. “Hidup mereka sudah cukup sulit, beban mereka sudah terpatri lama dalam hati, dan pencarian jati diri mereka tak kunjung usai. Satu-satunya cara untuk membahagiakan mereka adalah dengan mengurangi beban mereka. Dengan begitu kamu akan membahagiakan mereka….”

Ketika saya mendengar cerita ini saya tak bergeming, dari pak Hartono dan pak Gendo saya mempelajari makna hidup yang sederhana. Ternyata tidak mudah menjadi seseorang yang sabar, rendah hati, murah hati, tulus dan ikhlas dalam satu waktu, butuh waktu yang lama untuk mempelajari hal tersebut. Dan pak Gendo adalah potret manusia yang sudah melewati asam garam kehidupan untuk mendapatkan lima hal itu.

Itulah inspirasi pertama yang datang dari pak Hartono, sekarang bagaimana dengan inspirator lain, mari kita simak cerita bidan Aminah.



Cerita bidan Aminah berbeda dengan cerita pak Hartono, berawal dari keprihatinan kemiskinan yang melanda dirinya, ia kemudian menotalkan diri untuk terjun dalam dunia sosial sepenuhnya. Menjadi bidan di daerah kumuh menjadi makanan sehari-harinya. Dari mulai Dumai sampai Bekasi.

Di Bekasi inilah ia mendapatkan pengalaman menarik tentang seorang ibu yang melahirkan anak di bawah prematur. Anak ini lahir pada umur kandungan 6 bulan dengan kondisi yang cukup mengenaskan saat itu. Kala itu mata dan mulutnya belum terbuka sempurna karena memang masih belum terbentuk. Namun ia tidak menyerah sampai disitu, dengan mobil pribadinya yang dijadikan ambulance ia berjuang dari rumah sakit ke rumah sakit untuk mendapatkan ruang ICU.

Bukan penerimaan yang didapatkannya, keputusaasaan diteriakkan mereka ketika mereka melihat kondisi bayi tersebut. Sang bidang menjadi tersentak, karena semua rumah sakit menasbihkan bayinya tidak memiliki harapan hidup yang pasti.

Bukan bidan Aminah namanya kalau hal seperti ini membuatnya patah arang. Dengan segenap kekuatannya ia kemudian memberikan perawatan intensif sendiri untuk membesarkan bayi ini. Tidak berhenti sampai situ, iapun kemudian menjual semua perhiasan yang dimilikinya untuk tetap memberikan nafas bagi bidan Aminah untuk bisa menyambung nyawanya, karena memang sang bayi tidak pernah lepas dari bantuan oksigen.

Belum cukup dengan masalah oksigen, bidan Aminah dipusingkan masalah asi yang harus didapatkannya untuk sang anak. Iapun berinisiatif membuat bank asi untuk mengumpulkan asi ibu-ibu di sekitarnya, dengan susah payah ia meminta asi pada ibu-ibu tersebut. Dan setelah perjuangannya selesai, sang anak bisa tumbuh sehat dan baik.

Sekarang umur anak tersebut berumur 2 tahun, yang artinya sudah memasuki tahap pertumbuhan yang lebih ekstra lagi, beberapa dokter ahli mengatakan padanya jika anak itu hidup sampai besar ia akan mengalami gangguan pendengaran dan penglihatan. Cobaan beratpun seolah tak berhenti, dengan kayakinannya ia terus melatih fungsi motorik anaknya untuk mendengar dan melihat dengan jelas. Bahkan sampai tulisan ini dibuat bidan Aminah masih berusaha berjuang agar anak itu bisa normal seperti orang kebanyakan.

Renungan….

Dari dua perjuangan ini saya merenung cukup dalam, betapa banyak orang yang tulus mau dan rela berkorban demi orang lain, betapa tidak harta dan fisikpun tak ragu dipertaruhkan demi membuat orang lain lebih baik. Malu rasanya hati ini melihat mereka, terlebih karena saya belum bisa melakukan hal seperti mereka.

Hmm bagaimana dengan sobat Lirak-Lirik? Sudahkah menjadi pahlawan untuk lingkungan kita sendiri?

Salam Jalan-Jalan


Mas Senda
Sang Lirak

2 komentar:

  1. wah... saya tidak menyangka... sungguh menarik sekali...

    BalasHapus
  2. Wah mas saya juga ikut acara itu juga kemarin, kalo ada acara bagus lagi kayak gitu dikabarin mas, he..he..

    Salam kenal,

    Satriawan Wijaya
    http://portalwongsukses.wordpress.com

    BalasHapus