Rabu, 23 Juni 2010

Sang Lirak di Museum Ullen Sentanu

Museum apa yang paling keren se-Indonesia? Hmm sepanjang saya mengunjungi museum di Indonesia, baru Ullen Sentanu yang bisa membuat saya terbengong-bengong (karena saking takjubnya). Hmm mau tahu seperti apa museum ini, mari kita bahas satu persatu:



Pintu Masuk

Huff boleh dibilang pintu masuk di museum ini bikin saya kesal dan tidak yakin dengan harga yang ditawarkan pengelola museum. Bayangkan saja saya harus bayar dua puluh lima ribu rupiah hanya untuk menyaksikan museum saja (rada-rada kesal, karena harga normal masuk museum ya sekitar dua ribu sampai lima ribu rupiah), mana papan penunjuknya nggak meyakinkan lagi. Tapi akhirnya semua itu menjadi sirna tatkala pintu dibuka….

Petualanganpun dimulai….

Kami kemudian mulai masuk ke dalam museum dengan sebuah peringatan keras dari guide-ya “dilarang memotret ya!” Huft alhasil saya tidak mendapatkan foto bagian dalam museum ini. Sayapun dibuat bertanya-tanya alasan yang membuat kita tidak boleh memfoto bagian dalam museum ini.

Ternyata, eh ternyata di dalam museum ini penuh dengan lukisan, karena itu saya sangat wajar bila museum ini tidak boleh berfoto ria, karena pengalaman saya di museum Affandi juga seperti itu. Dan saya juga akhirnya mengerti alasan terbesar kenapa museum ini harganya larang (larang itu bahasa jawanya mahal).



Ruang Selamat Datang

Nah, di ruang ini ada patung selamat datang berbentu Dewi Sri dan terdapat cerita di balik pendirian museum ini. Nah, jadi museum ini mulai dirintis pada tahun 1994 dan mulai diresmikan berdirinya pada 1 Maret 1997, pemilihan tanggal ini dikarenakan ini adalah tanggal yang bersejarah untuk warga Jogja. Peresmian museum dilakukan oleh KGPAA Paku Alam VIII, Gubernur DIY pada waktu itu. Secara kepemilikan, museum swasta ini diprakarsai keluarga Haryono dari Yogyakarta dan berada di bawah payung Yayasan Ulating Blencong dengan penasehat antara lain: I.S.K.S. Paku Buwono XII, KGPAA Paku Alam VIII, GBPH Poeger, GRAy Siti Nurul Kusumawardhani, Ibu Hartini Soekarno, serta KP. dr. Samuel Wedyadiningrat, Sp.(B). K.(Onk).

Museum Ullen Sentalu Terletak di kawasan wisata Kaliurang tepatnya di dalam Taman Kaswargan dengan luas tanah 11.990 m2. Secara filosofis, nama Kaswargan dipilih karena terletak di ketinggian lereng Gunung Merapi, di mana kultur masyarakat Jawa menganggap Gunung Merapi sebagai tempat sakral. Taman Kaswargan berada dalam suatu “historical district”, yaitu kawasan bersejarah seperti Pesanggrahan Ngeksigondo dan Wisma Kaliurang. Pesanggrahan Ngeksigondo dibangun atas perintah Sultan Hamengku Buwono VII sebagai tempat peristirahatan keluarga Kasultanan Ngayogyakarta, sedang Wisma Kaliurang pernah digunakan untuk perundingan Komisi Tiga Negara, yaitu Amerika, Australia, dan Belgia pada masa revolusi kemerdekaan negara RI. Kaliurang merupakan kawasan wisata gunung dengan jarak 25 km dari pusat kota Yogyakarta, sehingga merupakan tujuan wisata yang sangat menarik dan potensial. Selain itu, terletak pada jalur wisata strategis yang menghubungkan obyek wisata Candi Borobudur dan Candi Prambanan.

Dalam perkembangannya, Museum Ullen Sentalu berpijak pada paradigma baru yang cenderung memaknai warisan budaya berupa kisah atau peristiwa yang bersifat tak benda (intangible heritage). Kecenderungan ini berawal dari suatu kondisi dimana Dinasti Mataram Islam cenderung menghasilkan budaya yang sifatnya intangible dibanding warisan budaya tangible yang lebih pada kebendaan. Padahal intangible heritage yang mencakup semua ekspresi, pengetahuan, representasi, praktek, ketrampilan yang dikenali sebagai bagian warisan budaya lebih rentan untuk pudar dan punah, apalagi dengan perkembangan arus globalisasi yang semakin tak terelakkan.
Bertolak dari kondisi tersebut, maka Museum Ullen Sentalu berupaya mengembangkan paradigma baru sebagai suatu terobosan yaitu dengan pemilihan lokasi yang berada di daerah pegunungan (resort), dan bukan di downtown; tidak menempati bangunan cagar budaya, tapi bangunan baru pada landscape kosong; dikelola sebagai private corporation dan bukan state institution; bersifat eclectic (carefully selected) collection dan tidak mengandalkan jumlah koleksi massive; lebih banyak memaknai warisan budaya berupa kisah atau peristiwa yang bersifat tak benda (intangible heritage) dan tidak selalu mengandalkan warisan budaya kebendaan (tangible heritage); tidak semua koleksi terdiri dari artefak dan benda memorabilia tetapi sebagian terdiri dari ambiance kebudayaan materi masa kini; tidak menggunakan label pada koleksi yang dipamerkan tetapi mengandalkan tour guide; berifat movement dan bukan monument; sebagai a-muse-ment dan bukan muse-um dan saat ini tengah dikembangkan untuk menjadi living museum dan bukan “dead” museum.

Salah satu upaya Museum Ullen Sentalu dalam memvisualisasikan berbagai warisan intangible dari Dinasti Mataram adalah dengan memanfaatkan media interpretasi dalam bentuk Conceptual and Imaginary Narrative Paintings.



Ruang Seni Tari dan Gamelan

Nah di ruang ini kita akan menemukan lukisan tarian jawa, mau tahu siapa saja yang ada di lukisan itu?

Di ruang ini kita akan menemukan lukisan tari serimpi yang dibawakan langsung oleh Gusti Nurul (puteri Mangkunegaraan-kalau di Jogja namanya Pakualam, nah kalau di Solo namanya Mangkunegaraan).

Dalam lukisan ini terdapat lukisan tarian yang menceritakan pertarungan antara bangsa Jawa dengan China. Karena ini tarian Jawa, ya pasti menang Jawa, hehehe…, begitulah kata sang tour guide dengan logat inggris yang rada medok.
Guwa Sela Giri.

Suatu ruang pamer yang dibangun di bawah tanah, karena menyesuaikan dengan kontur tanah yang tidak rata. Ruang ini berupa lorong panjang yang merupakan perpaduan Sumur Gumuling Taman Sari dan gaya Gothic. Arsitektur Guwa Sela Giri didominasi dengan penggunaan material bangunan dari batu Merapi. Ruang ini memamerkan karya-karya lukis dokumentasi dari tokoh-tokoh yang mewakili figur 4 kraton Dinasti Mataram. Melalui karya-karya lukis dokumentasi para tokoh yang dikemas dalam karya fine arts serta didukung kelengkapan data sejarah yang berkaitan, maka suatu interaksi antara karya seni, pengungkapan data-data seni budaya dan sejarah dari suatu peradaban yang intangible dapat terkomunikasikan secara kaya dan bebas. Ruangan ini boleh dibilang atraktif, terutama beberapa lukisan yang terlihat hidup. Salah satu lukisan yang hidup kalau kita perhatikan seperti melihat kita terus kemanapun kita pergi, hehehe rada-rada ngeri juga ngelihatnya….
Kampung Kambang

Merupakan areal yang berdiri di atas kolam air dengan bangunan berupa ruang-ruang di atasnya. Konsep areal ini diambil dari konsep Bale Kambang dan konsep Labirin. Kampung Kambang terdiri dari lima ruang pamer museum, yaitu: Ruang Syair untuk Tineke, Royal Room Ratoe Mas, Ruang Batik Vorstendlanden, Ruang Batik Pesisiran, dan Ruang Putri Dambaan.

- Ruang Syair untuk Tineke

Ruang yang menampilkan syair-syair yang diambil dari buku kecil GRAj Koes Sapariyam (putri Sunan PB XI, Surakarta) dan ditemukan di suatu ruang di dalam Kaputren Kasunanan Surakarta. Syair-syair itu ditulis dari tahun 1939-1947, oleh para kerabat dan teman-teman GRAj Koes Sapariyam yang akrab dipanggil Tineke sebagai puisi-puisi kenangan. Melalui syair-syair tersebut terungkap kemampuan intelektual dalam seni sastra para putri di balik tembok kraton.

- Royal Room Ratu Mas

Suatu ruang yang khusus dipersembahkan bagi Ratu Mas, permaisuri Sunan Paku Buwana X. Di ruang ini dipamerkan lukisan Ratu Mas, foto-foto beliau bersama Sunan serta putrinya, serta pernak-pernik kelengkapan beliau, seperti topi, kain batik, dodot pengantin, dodot putri, asesori, dll.

- Ruang Batik Vorstendlanden

Menampilkan koleksi batik dari era Sultan HB VII - Sultan HB VIII dari Kraton Yogyakarta serta Sunan PB X hingga Sunan PB XII dari Surakarta. Melalui koleksi tersebut terlihat suatu proses seni dan daya kreasi masyarakat Jawa dalam menuangkan filosofi yang dianutnya melalui corak motif batik. Perpaduan keindahan seni batik dan makna-makna filosofis yang dikandungnya menguak suatu warisan budaya intangible yang sangat kaya.

- Ruang Batik Pesisiran

Ruang ini melengkapi proses akulturasi budaya yang ada di Jawa. Dipamerkan kostum, yaitu keindahan bordir tangan dari kebaya-kebaya yang dikenakan kaum peranakan mulai jaman HB VII (1870-an) serta kain batik yang lebih kaya warna.

- Ruang Putri Dambaan

Ruang ini dikatakan sebagai album hidup GRAy Siti Nurul Kusumawardhani, putri tunggal Mangkunegara VII dengan permaisuri GKR Timur. Menampilkan dokumentasi foto pribadi dari masa kanak-kanak hingga pernikahannya (1921-1951). Melalui foto-foto tersebut tersaji muatan budaya yang bersifat intangible, seperti: ritual-ritual tahapan kehidupan seorang putri kraton beserta segala pernak-perniknya yang merupakan kekayaan warisan budaya Jawa. Ruang ini sangat istimewa karena terasa kedekatannya dengan Sang Tokoh, yang meresmikan sendiri Ruang Putri Dambaan tersebut pada ulang tahun ke-81 pada tahun 2002. Seperti ada ikatan batin antara tokoh dan Ruang Putri Dambaan karena album perjalanan hidup putri Mangkunegaran ini dititipkan secara pribadi dalam ruang tersebut di Museum Ullen Sentalu.

Gusti Nurul adalah putri Mangkunegaran yang memberi inspirasi para pangeran Mataram untuk tidak berpoligami. Beliau merupakan putri permaisuri yang gemar berkuda, yang tidak lazim pada era tersebut.

Nah diantara lima ruang ini, ruang syair untuk Tineke adalah ruang favorit saya. Disini terlihat sekali Tineke dengan sangat matang membuat sebuah puisi yang indah dan memekakkan jiwa bagi siapa saja yang sedang patah hati (kalau saya sih tidak, hehehe…).



Koridor Retja Landa

Merupakan museum outdoor yang memamerkan arca-arca dewa-dewi dari abad VIII-IX M. pada masa itu berkembang agama dan budaya Hindu Budha, sehingga ada pemujaan pada dewa-dewa yang diwujudkan dalam bentuk penyembahan pada arca-arca dewa tertentu.
Kalau boleh jujur arca-arca ini sebenarnya lebih menarik dilihat di candi-candi, kalau disini, kelihatannya lebih mirip pajangan saja.

Ruang Budaya

Di ruang ini dipamerkan beberapa lukisan raja Mataram, lukisan serta patung dengan tata rias pengantin gaya Surakarta serta Yogyakarta. Hmm ruangan ini sebenarnya mirip-mirip anjungan Jawa Tengah dan Jogja di Taman Mini, hayoo siapa yang sudah pernah kesana?

Terakhir kita minum-minum deh….

Di akhir kunjungan semua tamu mendapat suguhan minuman spesial, resepnya merupakan warisan Gusti Kanjeng Ratoe Mas, putri Sultan HB VII yang disunting sebagai permaisuri Raja Surakarta, Sunan PB X. Konon, minuman ini memberi kesehatan dan awet muda.

Minuman ini rasanya hangat, tapi jahenya nggak strong dan pas di lidah kita. Hmm kalau dirasa-rasain mirip wedang jahe, dicampur daun jeruk, melati, madu dan gula merah deh….
Kesimpulan

Museum ini boleh dibilang sangat profesional dalam pengelolaannya. Terbukti dengan teraturnya jam buka museum dan jam-jam dimana kita bisa mendapatkan tour guide Indonesia Language or English Language.

Situsnyapun dikelola profesional, sehingga wajar banget banyak turis asing yang jatuh cinta dengan museum ini. Tidak hanya profesional, fitur-fitur pendukung untuk bisa mencapai museum ini cukup mumpuni. Di daerah ini terdapat beberapa bungalow untuk sekedar menginap dan merasakan sensasi kesejukan Kaliurang. So, kalau ke Jogja jangan cuma tahunya Malioboro doang, basi tau!....

Salam Jalan-Jalan


Mas Senda
Sang Lirak
Sumber Pemberitaan: http://masdapit.com/

Kamis, 03 Juni 2010

Sang Lirak di Benteng Vredeburg



Hola sobat lirak-lirik, lama sekali tidak memberi kabar dan berita perjalanan yang menginspirasi. Hmm kali ini saya akan menghadirkan sebuah tempat yang wajib dikunjungi bila kita kesana. Mau tahu bentengnya seperti apa, simak penjelasan berikut:

Tentang asal usul nama Benteng….



Benteng ini pertama kali dibangun pada tahun 1760 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I atas permintaan Belanda, alasannya sih untuk menjaga keamanan sultan. Maka dibangunlah seadanya dan tidak permanen. Tahun 1767-1787, benteng kemudian disempurnakan dan diberi nama Rusternburg yang artinya tempat peristirahatan. Nah, pada tahun 1867 terjadi gempa bumi yang dahsyat, yang berujung pada kerusakan benteng. Karena itu diadakan perbaikan hingga akhirnya nama bentengpun berubah menjadi Vrederburg (benteng perdamaian).

Penggunaan Benteng….



Kalau secara historis benteng ini mengalami pergantian dan fungsi, mau tahu rekam jejaknya, simak penjelasan berikut:

1761 – 1811 Benteng pertahanan VOC Belanda.
1811 – 1816 Markas militer tentara Inggris.
1816 – 1942 Markas militer tentara Belanda.
1942 – 1945 Markas militer tentara Jepang.
1945 – 1977 Markas militer Republik Indonesia

Nah, kalau sekarang semuanya sudah berubah fungsi menjadi benda cagar budaya karena pada 1981 ada penetapan benteng Vredeburg sebagai benda cagar budaya, hal ini tercantum di Surat Keputusan Mendikbud nomor: 0224/U/81 tanggal 15 Juli 1981.

Apa saja isi dari benteng ini?

Wuih kalau boleh bilang, benteng ini berisi diorama-diorama dari perjuangan dan sejarah Jogja di masa-masa menjelang kemerdekaan. Ada empat ruang diorama yang terdapat dalam benteng ini.



Diorama I : Berisi tentang periode perjuangan perang Diponegoro melawan Belanda, serta perjuangan para pahlawan merebut Jogja dari tangan Jepang (periode 1825-1942).

Kalau boleh jujur ruang ini adalah ruang diorama paling terang diantara semua diorama, cahaya matahari tembus ke dalam dan menyinari beberapa koleksi di ruang ini, diorama dalam ruang ini menarik karena kita bisa melihat bagaimana bentuk gue selarong tempat pangeran Diponegoro merumuskan rencana melawan Belanda, serta miniatur latihan tentara Jepang.



Diorama II : Berisi tentang periode awal kemerdekaan dan Agresi Militer Belanda (Periode 1945-1947).

Ruang diorama ini banyak menjelaskan bagaimana mencekamnya kala itu di Jogja, pertempuran berdarah sampai perundingan demi perundingan terjadi di Jogja. Kesan saya terhadap ruang diorama 2 sedikit bergidik, karena memang waktu itu saya sendiri masuk ruangan ini tanpa ada siapapun di dalamnya. Suasananya sangat gelap dan sepi. Sedikit banyak seperti merasakan sensasi tantangan Dunia Lain.



Diorama III : Berisi tentang periode perjanjian Renville sampai dengan kedaulatan RIS (Periode 1948-1949).

Ruang diorama ini berisi bagaimana perundingan-perundingan dahulu dilakukan. Pada ruangan ini beberapa koleksi terlihat lebih hidup dari sebelumnya, karena ada recorder suara rekonstruksi kejadian yang kita dengarkan di ruangan ini, hmm mirip-mirip dengan diorama di Lubang Buaya.



Diorama IV : Berisi tentang NKRI – Orde Baru (Periode 1950 – 1974)

Ruang diorama terakhir ini lebih banyak berisi tentang pemilu pertama kali di Jogja. Serta beberapa pakaian seragam tentara kala itu, ruangan ini sangat sepi pengunjung bila dibandingkan ruang diorama lainnya, bisa jadi karena ruangannya agak terpisah dari diorama lainnya.

Selain diorama ada juga meriam-meriam dan kursi-kursi yang dipakai pada zaman dahulu kala. Tempatnya klasik dan ok punya deh….

Kesimpulannya….



Tempat ini bisa jadi rekomendasi kita untuk mengenal sejarah lebih jauh, terutama bagaimana peran Jogja dalam membangun NKRI. Tempatnya keren banget, kalau mau foto-foto juga ok, suasananya mirip Kota Tua di Jakarta. Nah tunggu apa lagi? Ayo kita ke Vredeburg….

Salam Jalan-Jalan


Mas Senda
Sang Lirak